Saat itu lagi duduk selepas solat ashar berjamaah ada adek santri kelas 9 SMP menawarkan penulis untuk bertukar buku. Dia bercerita ingin sekali bisa menulis lalu dia mengobrol dan cerita kepada saya. Dia bercerita tentang kesulitan untuk menulis. Dia sudah membeli banyak buku referensi terkait kepenulisan. Salah satunya buku berjudul “Saya menulis, maka Saya Ada” karya Nihwan Sumuranje. Lalu penulis mengambil salah satu buku yang pas untuk permasalahannya yaitu “Menulis dengan Gembira” karya Ersis Warmansyah Abbas.  Semoga bermanfaat ya dek, buku yang penulis bagi hehe
 
                Setelah penulis membaca buku ini, terdapat hal-hal baru yaitu tentang menjadi penulis buku. “Wah nulis buku, nulis artikel aja masih sulit” dalam batin hehe. Tidak hanya itu, disini juga bagaimana cara mendapatkan penerbit dan cara apa saja sebelum pengiriman naskah. Sangat menarik !!
                Penulis mencoba merangkum apa saja makna yang terkandung dalam buku ini. Penulis meringkas dari hal yang paling dasar dulu yaitu membaca. Segala sesuatu yang besar dimulai dari hal yang kecil.
                Membaca adalah langkah percepatan dalam mentransfer ilmu. Kejadian jutaan tahun lalu dapat diperoleh dari aktifitas membaca. Peristiwa hari esok, lusa, dan sekian tahun dapat diperkirakan oleh para ahli. Membaca adalah faktor utama bagi penulis.
                Dengan membaca kita seakan melipat waktu, mempersingkat waktu, dan lebih menghargai waktu. Di sini penulis membagikan di dalam buku “Saya menulis, maka Saya Ada” tentang tujuh manfaat membaca bagi penulis.
1.       Kedalaman Ilmu
Ibarat sumur, membaca adalah sumber mata air. Tanpa air kita tidak bisa melanjutkan kehidupan ini. Sumur yang bagus airnya itu pasti memiliki kedalaman yang dalam pula. Begitupun dengan membaca , akan memperdalam ilmu kita.
Sebagai penulis harus fokus apa dan dimana bidangnya. Entah itu bacaan ilmu pengetahuan atau wawasan tentang disiplin ilmu yang kita minati. Pasti saat teman-teman mau menulis kemudian  sudah ada ilmu dan wawasan, wihh pasti bagus bin maknyusss hehe.

2.       Keluasan Ilmu
Kedalaman ilmu saja tidak cukup. Karenanya kita harus memberi ruang terhadap jenis bacaan. Jika kita sudah dapat ilmu dengan konsep dasar, maka kita harus menambah wawasan untuk mengaktualisasi kedalaman ilmu dengan peristiwa terkini. Dengan demikian titik temu keduanya dapat berpadu.

Kita bisa lihat contoh buku wawasan Islam seperti Islam Aktual (Jalaludin Rahmat), Wisata Hati (Yusuf Mansyyur), dan Fenomena Daarut Tauhid (AA Gym)

3.       Kedalaman dan Keluasan yang Menyatu
Ini saatnya kita menggabungkan kedua manfaat membaca di atas. Ibarat masakan, hanya memanfaatkan bahan utama. Tidak mencampur dengan bumbu-bumbu kombinasi lain. Begitu pun dengan kita hanya mengandalkan kata-kata manis (wawasan) hanya menghasilkan bak perhiasan semata.

Penulis setuju bahwa menulis buku apa pun enaknya memadu antara kedalaman dan keluasan bacaan yang kita baca. Hasil ini bukan dari siapa-siapa, melainkan dari batok kepala kita sendiri. Buah pikir sang penulis yang berhasil memadukannya.

4.       Menyimak Banyak “Gaya”

Jikalau kita hanya berlatih tekun menulis saja. Pasti rujukan kita sangat sedikit. Sehingga perbendaharaan kata sudah habis. Nah kualitas tulisan juga dipengaruhi oleh gaya menulis. Kalau kita banyak membaca, toh banyak “Gaya” yang bisa kita pelajari. Contoh saja si “Fulan” suka gaya ceplas-ceplos dan garang, sedangkan si “Falen” suka gaya lembut tapi mengundang pembaca berpikir dan si “Felin” suka berputar-putar kata tapi tepat sasaran. Banyak membaca, semakin banyak pula “gaya” yang kita tahu.

5.       Menemukan Gaya Sendiri

Berbagai gaya yang kita baca, pada akhirnya akan “mengendap” menjadi satu gaya yang kita pegang. Gaya yang kita gabungkan dari beberapa macam gaya. Bukankah kekhasan orang itu terbentuk dari sekian warna yang diambil dari aneka warna yang di luar dirinya ? Cita rasa penulisan akan terbentuk dari banyaknya gaya yang kita baca.

Contoh saja Pak Hernowo, seorang penulis banyak buku bestseller. Dengan jujur ia mengaku bahwa gaya tulisannya sangat dipengaruhi oleh Emha Ainun Nadjib, Quraish Shihab dan Jalaludin Rahmat. Tunggu apalagi, ayo membaca !!

6.       Memudahkan Pembahasan

Penulis yang jarang membaca buku, pasti saat menulis pasti tersendat. Berbeda dengan penulis yang banyak “makan” buku pasti tidak akan mengalami “macet” dalam pengembangan pembahasan. Ketika menulis suatu tema, penulis itu pasti akan meninjau dari pendekatan disiplin ilmu. Pembahasan mengalir dengan lancar. Apalagi kalau diperindah dengan materi penunjang wawasan guna memudahkan pemahaman bagi pembaca. Wih mantap dah !!





7.       Alternatif Solusi

Efek positif berikutnya dari kekayaan sumber ilmu dan kekayaan wawasan adalah ketersediaan banyak pilihan solusi kehidupan. Apa jadinya hidup tanpa ilmu. Semua berharap masyarakat hidup dengan bimbingan ilmu. Idealnya, sebelum masalah (baru) muncul , ilmu sudah tahu duluan.

Contoh saja perihal masalah Islam. Wanita haid tidak boleh memegang Al-Qur’an. Seperti kita tahu terdapat dua pendapat tentang hal ini. Ada yang boleh, ada yang tidak. Sehingga kita akan bijak menghadapi perbedaan. Dan pun kita pasti akan condong kepada salah satu pendapat tersebut. Perbedaan tersebut sejatinya mendewasakan kita dalam berinteraksi sosial di masyarakat. Sehingga tetap mesra dengan orang lain tanpa kisruh dan konflik.



Nah begitulah isi ringkasan yang penulis rangkum. Kalian teman-teman semua tidak harus bingung untuk memulai menulis. Yang paling utama membaca dahulu. Kalau sudah, baru kita niat untuk menulis. Anggaplah menulis itu mudah. Teman-teman bisa lihat kan? Penulis hanya mengpresiasi buku ini. Dan hasilnya jadilah tulisan ini. Jangan anggap susah, mulai menulis dengan teknik paling gampang. Salah satunya mengapresiasi sebuah buku. Semoga bermanfaat dan menginspirasi !!