Women Internasional Day jatuh tepat pada tanggal 8 Maret. Seluruh elemen masyarakat terutama kaum hawa merayakannya dengan menyuarakan kritikan terhadap pemerintah. Kritikan keras bagaimana perlakuan diskrimanasi terhadap wanita masih tinggi di Indonesia. Mulai dari kasus KDRT, seksual , pekerjaan dan masih banyak lainnya.
Dilansir dari detiknews.com , massa akan berjalan di sekitar Monas hingga ke Kementrian Perempuan dan Pemberdayaan Anak. Dua hari sebelumnya pada tanggal 6 Maret 2020, para buruh wanita juga berdemo di depan Monas menolak RUU Cipta Kerja / Omnibus Law. Dimana mereka protes keras terhadap isi RUU tersebut. Mulai dari hak cuti melahirkan , haid dan menikah yang hilang serta tuntutan lain mengenai budaya patriarki di dunia kerja.
Pertanyaannya adalah mengapa dari tahun ke tahun issue mengenai diskriminasi terhadap perempuan terus ada bahkan meningkat? Lalu bagaimana seharusnya kita memandang satu sama lain? Dan bagaimana keadaan di Indonesia? Mengapa wanita selalu menjadi warga kelas dua?
Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki – laki berbeda.  Namun, gender bukanlah jenis kelamin laki – laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan. Gender lebih ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh masyarakat. Oleh karena itu, gender penting di pahami dan dianalisa untuk melihat apakah perbedaan tersebut menimbulkan diskriminasi dalam artian perbedaan yang membawa kerugian dan penderitaan terhadap pihak perempuan.
Sebenarnya, kita telah mempunyai basis legal yang menjamin hak  - hak dan kesempatan bagi laki – laki dan perempuan. Hal tersebut terlihat dari Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang di buat oleh PBB pada tahun 1993. Namun, deklarasi tersebut tidak begitu dikenal oleh masyarakat di Indonesia, sehingga jarang di buat sebagai acuan dalam kegiatan penyelesaian masalah yang berbasis gender.
Jargon kesetaraan gender sering digemakan oleh para aktivis sosial, kaum perempuan, hingga para politikus Indonesia. Apakah kesetaraan gender antara perempuan dan pria di Indonesia sudah merata? Menjawab pertanyaan tersebut, psikolog keluarga dan remaja, Roslina Verauli memaparkan data terkait Indeks Kesenjangan Gender (IKG) periode 2015-2017. Diketahui ,masih terdapat kesenjangan peran gender yang signifikan di tiap wilayah.
Mengapa gender dipersoalkan? Secara sosial gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi, serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.
Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan selalu dinilai sebagai makhluk yang lebih inferior dari laki-laki. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, sehingga harus berada di bawah kekuasaan laki-laki. Hal tersebut akhirnya menimbulkan diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam lingkungan masyarakat, bahkan sampai dalam lingkungan keluarga.
v  Data Riset
·         Lingkungan Keluarga
Data tersebut kemudian diperkuat dengan riset dari Hill ASEAN Studies pada 2018. Sekitar 60% istri bekerja di Indonesia, tetapi kurang dari 3 di antara 10 suami yang hanya bersedia memasak. Ketika para istri ikut bertanggung jawab finansial keluarga, suami tidak ikut berbagi pekerjaan rumah tangga, yang bisa dimulai dari membantu di area domestik.

·         Lingkungan pendidikan

Di bidang pendidikan, perempuan menjadi pilihan terakhir untuk mendapatkan akses. Oleh karena itu, tingkat buta huruf tertinggi di Indonesia juga masih didominasi oleh kaum perempuan.

·         Lingkungan pekerjaan
Perempuan yang memiliki akses pendidikan yang tinggi pada umumnya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. namun, pemilihan pekerjaan tersebut masih berbasis gender. Perempuan dianggap kaum yang lemah, pasif dan dependen. Pekerjaan seputar bidang pelayanan jasa seperti bidang administrasi, perawat, atau pelayan toko dan pekerjaan dengan sedikit ketrampilan seperti pegawai administrasi dan hanya sedikit saja yang menduduki jabatan manajer atau pengambil keputusan.
GBHN membuat permasalahan gender semakin pelik, dalam penjabarannya intinya menyebutkan bahwa perempuan indonesia berfungsi sebagai istri pengatur rumah tangga, sebagai tenaga kerja di segala bidang dan sebagai pendidik pada bagi anak – anaknya. Konsep tersebut semakin membingungkan perempuan di Indonesia untuk memilih antara terjun dalam kegiatan di luar rumah dan menjadi istri sertai bu yang baik.
Konsep ini sangat berat bagi perempuan, dikarenakan proporsional beban tersebut mampu membuat perempuan retan akan stress. Selain itu, permasalahan ada pada keputusan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Contohnya pada kasus ibu hamil yang menunggu keputusan suaminya untuk pergi berobat ke dokter. Pada akhirnya, ibu hamil terlambat mendapatkan penanganan yang dapat berakibat fatal bagi kesehatan janin dan ibu itu sendiri. Hal tersebut nampak permasalah gender di Indonesia mengakar sejak dahulu yang diawali dengan kebijakan pemerintah yang berlaku saat itu.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi, sudah waktunya perempuan dan laki – laki di Indonesia sama – sama berfungsi sebagai pengatur rumaha tangga pada khususnya dan pengatur beberapa kebijakan negara pada umumnya. Dengan tercapainya kondisi ini, dapat terjalin dengan harmonis bagi perempuan dan laki – laki di Indonesia. Perempuan juga harus mendapatkan kesempatan yang sama memilih dan meraih posisi yang sejajar dengan laki laki di masyarakat.
Untuk mewujudkan kondisi ini, mau tidak mau, kaum perempuan Indonesia harus sadar bahwa selama ini konsep yang berlaku adalah konsep yang berorientasi gender yang membuat membedakan peran antara perempuan dan laki – laki di Indonesia, menghambat kesempatan mereka. Kesadaran perempuan lah yang sangat di butuhkan untuk dapat meningkatkan kondisinya sendiri di bidang kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dll. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus di bebani konsep gender.
Belum lagi ditambah dengan doktrin-doktrin agama yang cukup mengekang kehidupan wanita itu sendiri. Begitu banyak ayat-ayat yang memuliakan wanita namun bagi sebagian besar orang menggunakan ayat dan hadist untuk alat diskriminasi. “Wanita yang mulia adalah wanita yang tinggal di rumah.” Bagi para orang labil, akan menelan mentah-mentah informasi tersebut. Sehingga dia beranggapan tidak perlu mengoptimalkan bakat dan potensinya. Karena melawan hukum Islam dan takut mendapat dosa.
Tidak hanya pria yang mendiskrimasi wanita, namun sesame wanita pun demikian. Apalagi ditambah fenomena gerakan hijrah di media social dengan inisiasi da’i da’i bergaya milenial. Semuanya diawali dengan narasi ketakutan akan neraka dan dosa. Tanpa sama sekali mengungapkan alasan logis dan konsekuensinya. “Ah kamu tidak berhijab, cepat sadar kamu yaa”.
Pernikahan usia dini di Indonesia juga cukup besar. Pemerintah menyebut bahwa pernikahan dini akan menyumbang terjadinya kemiskinan. Bila anak menikah usia dini, maka secara otomatis akan berhenti mengenyam pendidikan atau sekolah karena bila dalam perkawinan itu melahirkan anak, maka orang tua dari anak yang lahir itu harus bekerja untuk menghidupi anak dan keluarga.
Selain karena faktor kemiskinan, faktor budaya dan tradisi juga menjadi sebab sehingga milenial di usia produktif harus naik pelaminan untuk melangsungkan ikatan janji suci. Pemerintah meyakini bahwa menikah di usia dini menjadi salah satu penyebab penyumbang kematian ibu karenakan alat reproduksi remaja perempuan belum mapan sehingga tak bisa berfungsi maksimal untuk melahirkan.
Data BPS menyebut satu dari empat anak perempuan di Indonesia telah menikah pada umur kurang dari 18 tahun pada 2008 hingga 2015. Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030.
Kemiskinan menjadi salah satu aktor yang membuat remaja atau generasi milenial cenderung menikah di usia yang sangat muda . Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Susana Yembise, mengemukakan anak perempuan dari keluarga miskin berisiko dua kali lebih besar dinikahkan pada usia dini.
Begitu banyak fakta-fakta di lapangan yang sudah aku sajikan. Mulai dari segala lini kehidupan, wanita pasti mendapat perlakuan diskriminasi, hak mereka untuk merebut masa depan menjadi hilang. Dirampas oleh orang-orang egois yang hanya menjadikan wanita sebagai objek. Objek untuk menunjukan bahwa dia merupakan individu yang lebih baik.
Tuhan menciptakan semua makhluk hidup dengan tujuan mulia. Baik itu pria, wanita bahkan bakteri yang berukuran mikro meter. Dengan adanya hari Perempuan Internasional ini, mari kita lebih berdaya. Gunakan waktu untuk memaksimalkan potensi dan anugerah dari Tuhan. Justru dengan lebih berdaya, kita semua terutama untuk kaum hawa tidak akan mudah ditindas. Lelaki lossy pun tidak akan berani mendekati.
Mari kita sambut generasi emas Indonesia 2045 dengan wanita-wanita tangguh dan berdaya. Mampu menentukan jalan hidupnya tanpa diintervensi pihak manapun. Wanita hebat yang melahirkan generasi cerdas tanah air. Salam Tangguh !!