“Rumus formulanya sangat sederhana : Tidak mungkin orang mendapatkan tiap sesuatu yang dia mau” Di tanggal 27 Januari, tepatnya 23 tahun lalu aku lahir di dunia ini. Menjalani kehidupan dengan lika-likunya. Syukur masih bisa bernafas dan melanjutkan kebimbangan ini. “Apa yang sudah aku peroleh di usia 20 an ini? Mengapa masih gini-gini aja?” Pertanyaan itu  selalu mengekang fisik dan jiwa seiring bertambahnya tanggungjawab.

            Percakapan seperti ini sangat wajar aku dengar dan didiskusikan oleh beberapa kawan. Semuanya menuju satu kepastian, yaitu keamanan dan kepastian. Keamanan finansial dan kepastian jenjang karir. Its all about money.
            Ditambah perubahan dan dinamisnya perekonomian serta teknologi. Apa yang kita lihat dan rasakan saat kecil pasti akan berubah dan hilang di masa mendatang. Ada sector profesi yang hilang dan juga ada yang tumbuh.
            Ada satu kawan semasa SMA yang sangat berminat di bidang videografi. Semasa SMA , dia sering menceritakan mimpinya ingin menjadi seorang youtuber handal. Tidak hanya berhenti di omongan, banyak lomba foto dan videografi pun dia ikuti. Selepas SMA pun kenyataan jauh dari api harapan. Kawan baikku itu harus gonta-ganti pekerjaan untuk membiayai ibunya yang sakit. Pindah lokasi sana-sini mencari objekkan. Sebuah pilihan yang sulit. Apapun pilihan yang diambil pasti juga menimbulkan konflik-konflik relasional dengan teman dan keluarganya.
            Pengalaman kawan SMA ku ini bukanlah hal langka di kalangan orang usia 20-an. Periode ketika pada seseorang terjadi krisis emosional yang melibatkan perasaan kesedihan, terisolasi, ketidakcukupan, keraguan terhadap diri, kecemasan, tak termotivasi, kebingungan, serta ketakutan akan kegagalan
            Masalah baru pun muncul di tengah ‘masalah’. Kecemasan dan stress sekarang menjadi issue mental yang menjadi pusat perhatian. Usia remaja , dewasa bahkan manula sekalipun tidak luput darinya. Bagaimana dengan di Indonesia? Menurut studi tahun 2017 yang dimuat di Journal of Psychiatry mengungkap, 6,9 persen mahasiswa di Yogyakarta punya pemikiran bunuh diri. Sementara itu data Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebut, 140 dari 1000 remaja juga memiliki masalah kesehatan mental.
            Sebuah issue dimana seharusnya baik keluarga, sekolah dan lingkungan harus concern dengan ini. Kita harus menanamkan kepercayaan bahwa dengan QLC yang kita hadapi ini sebuah batu loncatan untuk menjadi lebih baik lagi. Dengan mengevaluasi dan berintropeksi diri bahwa kita adalah orang hebat yang mampu berguna bagi sesama. Meskipun itu berbeda dari yang lain.
Lalu apa itu Quarter Life Crisis? Disini aku akan menyampaikan dari beberapa sumber.
Menurut peneliti dan pengajar Psikologi dari University of Greenwich, London, Dr. Oliver Robinson, ada empat fase dalam QLC. Pertama, perasaan terjebak dalam suatu situasi, entah itu pekerjaan, relasi, atau hal lainnya. Kedua, pikiran bahwa perubahan mungkin saja terjadi.
Selanjutnya, periode membangun kembali hidup yang baru. Yang terakhir adalah fase mengukuhkan komitmen anyar terkait ketertarikan, aspirasi, dan nilai-nilai yang dipegang seseorang.
Umumnya, QLC dialami orang pada umur 20-an, baik awal, tengah, maupun akhir dekade ketiga dalam hidup seseorang. Namun, perasaan cemas, bingung, dan sedih yang terdapat dalam krisis memasuki tahap kedewasaan bisa saja berlanjut sampai usia 30-an.

Pemicu-Pemicu QLC
Jika ditilik lebih dalam, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam krisis selama transisi menuju tahap kedewasaan.
Aneka fasilitas dan pilihan kemungkinan yang tersedia menyebabkan orang justru stagnan. Jika dibandingkan generasi-generasi terdahulu, milenial dan generasi setelahnya tergolong beruntung karena dapat mengecap beragam kemudahan atau akses yang membuat hidup lebih baik: dari segi peluang kerja, pendidikan, akses kesehatan, keamanan, dan sebagainya.
Soal pekerjaan, seperti ditulis Forbes, generasi terdahulu boleh jadi memandang tujuan bekerja utamanya adalah untuk mendapat uang semata, sementara sebagian milenial merasa pekerjaan adalah sesuatu yang mesti memenuhi kebutuhan aktualisasinya, harus terkait hal yang disuka atau bisa mewujudkan mimpi-mimpinya.
Cari uang dirasa sebagai hal yang jamak, lapangan kerja bermacam-macam tersedia, tapi mendapat pekerjaan sesuai idamanlah yang patut dikejar menurut mereka. Pergeseran ekspektasi ini memberi sumbangsih pada ketidakpuasan mereka dalam dunia karier, kekecewaan, kecemasan, dan ujung-ujungnya QLC.
Saat segalanya cenderung gampang didapat, suatu hal tak lagi dirasa istimewa, kepuasan seseorang pun semakin susah terpenuhi, demikian dinyatakan Atwood & Scholtz, penulis studi tentang QLC tadi. Mereka membuat analogi: bila setiap orang bisa memakai jam Rolex dan hal itu gampang didapat, status dan kesenangan saat memiliki Rolex akan berkurang, bahkan tiada.
Aneka pilihan yang tersaji juga berarti ada tanggung jawab-tanggung jawab yang harus diemban. Tidak semua orang sanggup menerima hal tersebut, apalagi bila mereka belum benar-benar matang secara mental, tetapi segi usia sudah dituntut masyarakat untuk bertanggung jawab dalam hal pekerjaan dan relasi. Kesenjangan antara kesiapan diri dengan ekspektasi sosial inilah yang mengakibatkan QLC.
QLC berkisar pada masalah identitas seseorang: seperti apa nilai-nilai yang dipercayanya, dengan apa ia mengafiliasikan diri, hal apa saja yang prinsipil buatnya. Bagaimana ia membentuk dan kemudian menunjukkan identitasnya itu tidak lepas dari teknologi yang ada sekarang. Karenanya, hal ini menjadi faktor kedua yang potensial memicu QLC.
Baik mari kali ini kita melihat QLC dari perspektif lain. Sebagai manusia biasa yang penuh salah dan dosa. Tentu saja aku mengalami masa-masa krisis emosi, kebimbangan, ketakutan dan masih banyak lagi.
Berawal masa-masa SMP yang penuh dinamika dan mempunyai mimpi besar menjadi pesepak bola dan duta besar di Belanda. Selama hampir dua tahun aku belajar kebudayaan Belanda langsung di kedubesnya di bilangan Menteng. Nilai UN pun cukup mengantarkanku di SMAN 48 Jakarta Timur.
Kemudian hari , Ayah menawarkan bersekolah di Jawa Timur. Setelah bergelut beberapa hari dengan batin. Nanti bagaimana dengan mimpiku? Bagaimana kalo gagal? Akhirnya aku memutuskan untuk merantau ke Jawa Timur. Proses pendaftaran di SMA 48 pun dibatalkan.  Dengan pertimbangan bahwa kehidupan dan lingkungan Jakarta yang sudah tidak kondusif. Setelah 3 tahun di Jawa Timur terbilang cukup berhasil, dengan apa yang aku capai di bidang akademik maupun non akademik.
Sudah tiga tahun berlalu, masa SMA pun terlewati. Akhirnya aku harus memilih untuk berkuliah,bekerja atau apapun. Mimpi masih sama seperti dahulu , ingin menjadi duta besar dan penulis yang hebat. Jurusan FISIP dan Sastra pun gagal , malah diterima di jurusan Matematika di Kampus negeri Nusa Tenggara Barat.
Setelah menghadap dengan Guru-ku Bapak Kiai Tanjung, beliau menjelaskan bahwa jangan termakan ego dan gengsi. Kuliah dimana saja itu sama saja tetapi yang terpenting bagaimana kita menyikapi dengan sungguh-sungguh. Setelah mendengar itu, aku mulai mengevaluasi dan berintropeksi diri. Bahwa aku bisa menjadi yang terbaik tanpa memandang kampus atau institusi lain.
Setelah menjalani berbagai dinamika kehidupan, mulai dari masa SMP hingga mau lulus kuliah ini. Aku ingin berbagi dan bercerita bahwa aku telah belajar bagaimana mencoba hidup di masa ini, saat ini dan focus untuk saat ini. Mencoba mencari dan menemukan jalan lain.
Peneliti Atwood & Scholtz berargumen bahwa perasaan hilang arah atau tak punya pegangan, bahkan tujuan hidup, bisa menjadi titik awal seseorang untuk melakukan pencarian jati diri. Setelah melakukan evaluasi dari situasi yang ada, ia dapat menentukan dengan jujur apa yang sebenarnya ingin dicari.
Aku tahu bahwa banyak dari kalian yang punya cerita yang lebih berat, masalah yang lebih kompleks. Silahkan bisa berbagi dengan keluarga dan orang yang disayangi. Atau bisa berkomentar di komentar blog ini. Satu yang pasti bahwa tiap ada masalah ada jalan keluarnya. Sekali lagi, kamu tidak sendiri.