*Entah
berapa sepertiga malam yang telah kulalui dengan menyebut nama-Mu. Entah berapa
bulir air mata menetes menangisi diri-Mu yang tak pernah terlihat, tapi aku
yakin Kau ada. Karena setiap kali aku mengingat-Mu, melantunkan ayat-ayat
kitab-Mu, kedamaian aku rasakan di hati. Seperti malam-malam sebelumnya, malam
ini aku memohon ampun pada-Mu atas segala perintah dari-Mu yang kulanggar. Atas
dosa-dosaku selama ini. Aku angkatkan kedua tanganku agar membuatku lebih
khusyu dalam berdoa. Sampai akhirnya aku tertidur di sajadah warna biruku ini.
Aku
dibesarkan di keluarga yang cukup religius. Setidaknya, begitu menurutku. Solat
lima waktu, puasa di bulan Ramadan, zakat, serta perintah lainnya dikerjakan
oleh keluargaku. Kami tahu bahwa neraka itu ada, begitu pun surga. Maka dari
itu kami mencoba menaati perintah-Nya, melakukan hal baik lainnya yang
sekiranya bisa menambah pahala untuk dipertimbangkan di hari akhir nanti. Ketika
aku masih kecil aku tidak banyak bertanya mengapa aku harus melakukan hal-hal
tersebut. Aku dulu berpikir bahwa jika aku tidak beribadah maka orang tua akan
marah. Maka lebih baik aku menuruti omongannya. Aku tidak berniat memahami
lebih dalam tentang agamaku. Yang aku tahu, aku adalah insan beragama yang
harus menyembah Tuhan. Tidak lebih dari itu.
Sampai
akhirnya aku sampai pada umur dewasaku. Umurku telah mencapai kepala dua dan
aku berada di lingkungan baru yang benar-benar beda dari lingkungan sebelumnya.
Di mana lingkungan ini penuh dengan orang-orang yang seiman denganku, tapi
tidak melakukan apa yang Tuhan kami perintahkan. Dengan santainya orang-orang
itu melewatkan waktu Maghrib mereka dengan makan bersama teman di suatu kedai
makan, melewatkan waktu Subuh mereka dengan masih tertidur pulas, melewatkan
waktu Zuhur mereka dengan alasan takut terlambat kelas selanjutnya.
Di
titik ini aku bingung. Di titik ini aku mulai bertanya pada diriku tentang
keyakinanku. Aku percaya neraka itu ada, aku percaya bahwa api neraka panas
sekali, aku percaya bahwa akan ada azab yang diberikan oleh-Nya atas kelalaian
manusia yang tidak beribadah pada-Nya. Tetapi pengetahuanku hanya sebatas itu.
Aku tidak mencari bukti-bukti kebenaran-Nya, tidak membaca kisah-kisah
sebelumnya yang menunjukkan kebenaran-Nya. Dan aku malu akan hal yang tidak
kuketahui. Aku tidak bangga akan itu.
Dari
situ pun aku memulai untuk membaca lebih banyak tentang agama, mendengarkan
ceramah-ceramah, mengikuti kajian-kajian yang ada, agar aku dapat mengenal
agamaku lebih dalam lagi. Aku tidak ingin terpengaruh lingkungan. Aku percaya
bahwa apa-apa yang Dia perintahkan pasti adalah untuk kebaikan umatnya.
Meskipun ada perintah yang kurang masuk akal, aku tetap percaya pada-Nya.
Pernah
aku mempertanyakan perintah-Nya yang berbunyi “jika sedang tidak punya uang,
perbanyaklah sedekah.” Bagaimana bisa aku memperbanyak sedekahku jika untuk
makan saja susah? Logikanya di mana? Tetapi kemudian aku sadar bahwa agama
memang tidak selalu sejalan dengan logika manusia. Agama lebih dari itu. Karena
itu untuk memahami agama, aku membutuhkan iman. Dan bagiku iman adalah tetap
percaya pada Tuhan ketika segala yang terjadi dalam hidup sedang tidak masuk
akal.
Agama
adalah sandaran hati dan Allah adalah sebaik-baiknya tempat untuk berlabuh. Aku
tidak pernah merasa kesepian lagi ketika teman-temanku sedang sibuk dengan
kehidupan baru mereka, sedangkan aku dibiarkan sendiri, karena aku punya Dia. Aku
tidak lagi khawatir ketika tidak mendapatkan apa yang selama ini aku
perjuangkan karena Dia telah menentukan segalanya. Yang penting aku telah
berusaha. Hasilnya mau gimana adalah ketentuan-Nya. Aku tidak perlu lagi
tenggelam dalam rasa ketakutan setiap kali dilanda masalah. Cukup mengingat
ayat-Nya yang berarti “Bersama kesulitan ada kemudahan” membuat diriku tenang.
*Mendekati hari raya Idul Adha 1438 H, banyak orang
berbondong-bondong untuk membeli hewan qurban. Namun apakah ada rasa waspada
akan menyusupnya nafsu ego dan keakuan? Dan apakah kita hanya mengikuti sebuah
eforia perayaan tanpa menembus kulit/syariat?
Sebagai
pemuda yang berusaha mencari kebenaran. Kebenaran yang hakiki, mampu
meng-Islamkan (keselamatan) secara kaffah lahir dan batin. Tidak terjebak dalam
prasangka dan keragu-raguan , seperti memegang gajah bagian belalai dan
mengatakan bahwa gajah itu panjang.
Dua
minggu sebelum menyambut Idul Adha, aku melanjutkan pekerjaanku sebagai petani
rumahan. Maksudnya aku bertani di kost-an memanfaatkan lahan sela dan waktu
sela di samping pekerjaan utamaku berdagang hasil kretaifitas dari sampah
plastik. Pekerjaan ini mampu menghidupiku di usiaku yang menginjak 20 tahun
ini.
Perkenalkan
namaku Ali, aku tidak melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya. Juga karena
ayah yang sudaf wafat saat usiaku 15 tahun. Ibuku bernama Khansa ........ Saat
ini aku merantau ke Jakarta dari tempat asalku Kebumen. Sedangkan ibu bersama
adik yang masih SMA dan alhamdullilah di bantu pemerintah daerah.
Malam
hari saat sedang santai minum kopi di sebuah warteg, terjadilah sebuah obrolan
warteg. “Eh bro, enaknya abis korupsi langsung kurban 2 sapi berton-ton. Enak
banget bagi mereka yang berduit apus dosa.” Ujar bapak tua sambil
menyemil pisang goreng. “Apalagi ada ceramah bulunya saja pahala. Memangnya
seperti apa sih pahala itu?. Sekarang
makin banyak aja kasus-kasus kriminal yang dilakukan orang-orang elite dan
bergelar pendidikan maupun agama.” Celetuk ibu pemilik warteg.
Sebuah
obrolan warteg yang membuka perasaan dan aspirasi masyarakat bawah di negeri
ini. Aku pun pulang dengan langkah gontai menuju kost. Sambil geram ku berkata
“Enak banget mereka dalam beribadah. Tinggal menghitung pahala yang didapat dan
mengira-ngira dosa lalu udah dihapus!!!” ucapku sambil geram. Oh Tuhan, apakah
ini sesuai kehendakmu? Apakah perasaan ini Engkau kehendaki?
Keesokan
harinya, aku mulai membuka musim tanam baru. Setelah dua hari lalu panen
selada, kangkung dan bayam. Alhamdullilah cukup untuk kebutuhan pribadi dan aku
jual di pasar, insya Allah akan ku jual di supermarket karena sayuranku ini
organik bebas kimia jahat. Aku melakukan aktifitas pekerjaanku ini hanya
semata-mata menjalankan hadist yang menerangkan “bekerjalah seakan kamu hidup
selamanya, dan beribadahlah seakan besok kamu mati”. Kadangkala hadist ini
bertentangan, hidup dan agama itu terpisah.
Adzan
zuhur berkumandang dan kebetulan aku sudah selesai menyiiapkan kalender tanam
untuk 2 ulan kedepan. Aku pun sembahyang dan beristirahat di teras sambil
menatap media tanaman yang sudah siap diberi benih. “Mengapa dunia ini semakin
tidak menentu dan semakin menenggalamkan nurani? Mengapa perlakuan manusia
tidak mencerminkan hadist itu? Seakan-akan mereka beribadah melakukan, namun
korupsi, zina, narkoba tetap dijalankan?” Begitu dalam kontemplasi dan renungan
siang hari ini, seakan media taman seperti polybag dan vertikultur meng-iyakan
peryataanku.
Setelah
30 menit beristirahat sambul bertafaakur, tiba-tiba ada seorang ibu muda yang
cantik mengucapkan salam. “Apa benar ni mas Ali si penjual sayuran organik dan
penjual kerajinan dari sampah plastik?” tanyanya. “Mas, saya kan punya usaha
jual burung hias, lalu kemarin saya beli di pasar dan ternyata burung
peliharaan sangat suka dan terlihat burung mapu membedakan mana yang baik dan
tidak. Sementara keluarga saya juga suka, enak dan manis. Beda dari yang
biasanya.” Lanjutnya. Aku pun mengucapkan syukur bahwa aktifitas ini
mendatangkan maslahat dan kebaikan bagi semua makhluk.
Sang
ibu yang bernama Linda ini pun menawari kerjasama untuk memasok pakan burung
dan keluarganya. “Tidak usah bu, nanti saya yang akan mengajari keluarga ibu suapaya
lebih mandiri.” Ucapku. “Hehe gak usah mas, sekelurga sibuk semua.” Bu Linda
menjawab. “Kenapa mas ya semua orang tidak berbuat kebaikan untuk semua, hanya
mementingkan ego dan kepentingan. Tidak ada raa keguyub rukunan dan
kebersamaan.” Sambung bu Linda.
Setelah
berjabat tangan, “Bu, ibu ayo pulang.” Pinta sang anak bernama Andi, tertulis
di baju SD nya. Sang ibu dan anak pergi mengendarai mobil Mercy-nya
meninggalkan kost ku berukuran 10x10 meter dan lahan hanya 3x5 meter.
Pernyataan ibu Linda tadi sangat mengusikku untuk kembali merenungi apa yang
terjadi selama ini.
Tiba-tiba
rasional kali ini berbicara banyak dan lantang menyuarakan keganjilan dalam
kehidupan beragama saat ini. Dalam ayat Quran, solat mampu mencegah kemungkaran
dan kefasikan serta dalam Al-Maun, solat kita juga celaka, mengapa bisa seperti
itu? Dalam ayat pula solatlah untu mengingat-Ku (berdizikr), namun apakah sudah
benar?
Lalu
mengapa banyak kasus manusia-manusia terjebak dalam keprasangkaan dan
keragu-raguan dalam beragama? Kemudian apakah agama hanya dipandang sebatas
lahir syariat? Dipandang dengan memakai serba putih, memanjangkan janggut dan
memlihara istri banyak? Apakah sedangkal itu?
Sehingga
tidak heran saat ini banyak konflik karena berbeda pakaian (syariat). Berbeda
golongan, kelompok dan simbol saja sudah ribut dan bertengkar. Pertanyaannya
adalah apakah mampu hati menjadi adem bila seperti ini?
Kasus
pidana dan kriminal pun semakin banyak merongrong negeri ini. Tidak hanya
kalangan menengah ke bawah, namun menyerang otak para elite dan bergelar
akademik dan keagamaan. Sepertinya mereka mengira dosa mereka hilang dengan
pahala yang sudah ada angkanya dan mengajak Tuhan bermain matematika. Apakah
seperti ini? Aku pun menangis sejadi-jadinya di depan teras kost melihat dunia yang semakin rusak. Apakah
perlu membawa Nabi Muhammad hidup kembali atau memaksa Beliau hidup sampai
sekarang? Sehingga manusia punya pegangan secara nyata dan jelas , tidak ada
keraguan dan keprasangkaan dalam hidup ini.
Apakah
kehidupan beragama (ad-diin) dan kehidupan dunia memang seperti ini? Atau ada
yang mampu menyatukan konsepsi beragama dan duniawi? Supaya tidak ada demo
kenikan harga sembako dan harga sayuran , padahal mereka ada lahan sela untuk
dioptimalkan. Potensi Tuhan sangat sayang sekali bila tidak dimaksimalkan.
Mengingat ini, aku pun kembali ke masa SD dulu bahwa ada pelajaran solat tidak
boleh renggang nanti setan akan masuk. Apakah ini yang dimaksud ayat-ayat itu?
Lahan yang kosong dan waktu yang kosong bila tidak dimanfaatkan akan menjadi
setan dan mebuat pribadi marah dan senang sekali protes sehingga tidak mampu
mengoreksi diri sendiri.
0 Komentar