Menjadi manusia independen , merdeka dan tidak bergantung dengan apapun memang impian semua orang. Tidak terpengaruh jika ada satu pihak sedang kolaps dan hancur. Pasti orang ini tetap berdiri kokoh. “Eh Dar bangun udah subuh nih, mau telat lagi?” Ucap Danar membuatku terbangun dari mimpiku yang sangat indah hehe.
Setelah solat Shubuh berjamaah, kami berdua pun segera siap-siap membeli sarapan. Menjelang akhir bulan seperti biasa mahasiswa bertitel kos ini pasti kesulitan dana. “Eh beli bubur aja yuk, murah dan enak, daripada nasi uduk mahal cuy.” Ketus Danar. Segera kami menuju Mang Ujang asli Pangandaran yang sudah 10 tahun berjualan bubur ayam di pojokan gang cipinang Asem.
“Yah kang, udah abis nih buburnya, biasa diborong anak-anak kos juga, maklum sedang akhir bulan sih hehe” ucap Mang Ujang sambil bercanda. “Yah mang, kuah sama kerupuk aja deh gapapa kok.” Ucapku memelas. Berulang kali Mang Ujang menjelaskan dan memberitahu semua wadah dan memang isinya kosong!
Setelah bergelut dan berdamai dengan perut, akhirnya kami membeli 3 bungkus roti legendaris Cikini. Di sela-sela sarapan roti, aku kembali mengingat mimpiku semalam. Menjadi manusia merdeka dan independen. Tidak bergantung dengan siapapun termasuk pemerintah. Pagi hari aja kami sudah bergantung dengan beberapa pedagang untuk kami makan. Bagaimana kalau mereka semua gak ada? Masa kita gak makan?
Waktu menujukan pukul 8, kita mencari angkot gratisan khusus pelajar dan mahasiswa. Hari ini kami mau menuju kampus. Kebetulan BEM Kampus mau mengadakan rapat membahas kondisi politik negeri ini yang sedang memanas. Dengan jargon “Mahasiswa bergerak, Pemerintah bergoyang”. 1 aula meneriakkan jargon itu dengan wajah geram dan nanar. Tidak jarang aku meniup tangan dan ditempelkan ke telinga kanan kiri agar tidak budeg.
“Yuk makan siang Nar, laper nih teriak-teriak mulu.” Adzan Dhuhur berkumandang bersahut-sahutan. Sebagian pergi ke masjid, tapi kami berdua menuju warung tegal Nyi Misni yang terkenal galak itu. Walaupun galak tapi kami suka ke sana. Beliau suka memberikan hutang ya walaupun bunganya naik terus sih.
“Nyi, pesen 2 piring rames dan es jeruk yaa” Ucap Danar. Nyi Misni melirik dan memberikan pesanan kami. “Tumben tidak marah ya?” bisik Danar. Iya siapa tau Nyi Misni memberikan kejutan diakhir nanti. Setelah makan siang kami menuju tempat nongkrong bersama beberapa preman pasar. Kita sudah lama berkawan dengan mereka ya sekedar minta 2 puntung rokok dan kopi. Tidak jarang kami ditugasi untuk meminta tarif parkir yang tinggi. “Lebih enak jadi tukang parkir ya daripada PNS?” gumamku. Tidak heran aku bergumam seperti itu, walaupun preman itu berpakaian kotor tapi istri mereka lebih dari satu.
Menjelang Maghrib kami pun kembali ke kamar kost di bilangan Manggarai. Kadang kalau bosan ,kami Badar dan Danar dua anak kampung ini sering duduk di pintu air Manggarai sambil lihat tumpukan sampah. “Eh Dar liat tuh ada kulkas ngambang , ambil dan jual yuk” seru Danar. Walau kadang sering masuk angin karena kegiatan ini, kami tetap jalani untuk menyambung kehidupan. Setidaknya kami mengurangi sampah dan debit banjir Jakarta dengan memulung.
Muncul notifikasi dari gawai ku. “Wah gila lusa mau beneran aksi ?” ucapku sambil tersentak dan membuat Danar terbangun. Danar pun langsung loncat kegirangan  di kasur kos yang tipis. Suara bu Kos dengan lantang menyuruh kita diam. Memang dari kita berdua, Danar lah yang sering ikutan demo. Karena dia juga pengurus BEM kampus jadi mau tidak mau harus nyemplung. Kalo aku sih cuma ikutan sekali karena kapok tertangkap polisi dan kena gas air mata.
Keesokan harinya seperti biasa kami hanya sarapan kuah bubur dan kerupuk untuk sumber tenaga kami mempersiapkan demo besok. Ruang BEM dan aula penuh spanduk dan mahasiswa latihan orasi yang saling bersahutan-sahutan. Temanku Deni yang rajin puasa senin kamis dan Daud, dia berpengalaman memimpin massa dan tawuran dengan polisi dan warga. “Eh Den, gak haus teriak teriak mulu, kan lagi puasa lu?” tanyaku. “Iya nanti pas mati jadi syahid, demo sambil ibadah hehe.”
Sedangkan Danar sedang rapat untuk membahas berbagai rencana jika polisi dan pemerintah melarang mereka masuk Senayan. Ada yang usul langsung dobrak, ada yang usul merayu polisi dengan uang jajan, ada yang usul nekat bertahan sampai malam jika perlu dan minta bantuan preman.
Perutku keroncongan dan meminta untuk segera diisi. Danar pun seiya sekata. Kami pun ingin mencoba peruntungan lagi ke warung tegal Nyi Misni. “Nyi, kita pesan 2 porsi makan sini dan 2 porsi dibungkus ya hehe.” Ucap Danar. Dan benar saja Nyi Misni langsung memberikan pesanan kami sambil tersenyum tipis. Kami pun tersenyum getir. Warteg yang berukuran 3x3 meter memang ramai tiap waktu jam makan. Karena selain enak disini bisa berhutang walaupun ada bunga yang menusuk. “Memang berapa gaji mereka yang makan disini yaa, kok tiap hari dan nambah lauk ayam goreng spesial yang lumayan itu?” hatiku berkata. Sudahlah sudah menjadi budaya negeri ini membeli banyak barang mahal hanya karena gengsi tanpa berpikir nasib keluarga. Di bungkus rames ku terpampang nilai inflasi tahun ini 10% dan rupiah menginjak 25.000 ,-.
Keesokan harinya matahari sedikit berawan seakan mendukung acara besar tahun ini. Namun yang berbeda pagi ini kami sarapan dengan bubur ayam dan nasi uduk legendaris Bang Sabeni. Sungguh nikmat untuk mengarungi hari yang berat ini.
Kami pun berangkat menuju titik kumpul dan benar saja sudah banyak sekali mahasiswa dengan berbagai warna almamater. Memberikan warna dan nuansa indah di suasana tegang ini. Masing-masing korlap mempersiapkan massanya untuk mengikuti  aba-aba dan aturan demo.
Orasi bersahutan-sahutan dari para korlap. Aku lihat Deni nampak gahar dengan alat pengeras dan aku tahu dia sedang puasa sunnah.  Aku terpisah dengan Danar yang sedang berada di garda terdepan.
Tidak terasa sudah pukul 12.00 siang, dan mahasiswa istirahat sejenak untuk menikmati bekal yang usdah disiapkan. Para polisi pun sudah terlihat agak rileks dan santai. Sambil membasuh muka mereka dengan meriam air.
10 menit kemudian di tengah suasana istirahat dan santai. Tiba-tiba ada beberapa mahasiswa yang berada di tengah massa. Mereka berdiri dan memaki para polisi. Nampak di belakang tubuh mereka sedang mempersiapkan barang. Dan BOOM , mereka melempar bom Molotov, batu dan menembakkan anak panah kepada polisi.
Beberapa polisi cedera parah dan kerusuhan pecah. Danar yang sedang di depan sudah tidak terlihat lagi. Polisi menembakkan gas air mata, meriam air dan peluru karet. Mahasiswa pun berhamburan dan menyelamatkan diri masing-masing. Aku pun berlari sambil melihat ke belakang untuk mengecek Danar.
30 menit kemudian aku mendapat kabar bahwa Danar terduduk lemas di depan gang. Langsung saja aku pergi mengecek sahabatku itu. Matanya memerah, wajah lebam, dan pucat sekali. Aku melihat titik muntahan Danar yang bercampur darah. Aku langsung membawa Danar ke RSUD terdekat dengan meminjam motor warga. Setibanya di RSUD kami ditolak karena pemerintah tidak membayar korban demo, apalagi mahasiswa miskin seperti kami. Apalagi banyak masyarakat yang jarang bayar iuran. Menyebabkan RSUD banyak yang bangkrut.
“Sabar Nar, kita ke kost saja ya.” Ucapku memberikan semangat. Wajahnya semakin pucat , matanya memerah dan semakin lemas. Sekitar 100 meter sebelum sampai di kost, Danar mengucapkan “Aku sudah gak kuat Dar, semoga pemerintah mengurusi dan menerima tuntutan kita.” Danar pun muntah darah untuk terakhir kalinya dan langsung terjerembab. Danar pun meninggal dengan keadaan mengerikan.
Dengan sekuat tenaga menggotong Danar dan menahan sedih yang berkecamuk. Penderitaan kami pun semakin bertambah. Ternyata kost kami disita Nyi Misni dengan tulisan yang besar di depan pintu berserta barang-barang kami. Dengan perasaan marah dan tidak terima , aku mendobrak pintu dan melihat isi kost kosong dan hanya catatan kecil dari Nyi Misni.
“Sudah terbayar lunas, hutang dan bunga kalian. Sebagai tambahan di 2 bungkus rames kalian sudah saya bubuhkan racun dan santet. Senang berurusan dengan kalian, jika kalian masih lapar, Nyi Misni siap melayani. Salam solidaritas.”