Setelah pagelaran Pilkada serentak 2018, masyarakat Indonesia akan diuji lagi dengan logika-logika receh para politisi untuk merebut kekuasaan. Kali ini menggunakan nama besar artis, musisi hingga aktor yang digaet untuk mengeruk suara.
Tidak tanggung-tanggung total ada 54 artis yang masuk di beberapa partai politik. Mulai dari Nasdem, PDIP, PAN, PKB, Demokrat dan PSI. Dimana Nasdem menyumbang sebagai partai terbanyak dengan 25 artis.
            Fenomena ini terjadi pada pagelaran pemilu 2009 lalu, dimana Rieke Dyah Pitaloka yang menjadi anggota DPR RI lewat PDIP. Menurut para pengamat politik, kejadian ini membuktikan parpol tidak punya calon yang mumpuni dan ahli untuk mengurus negara. Dan dipakailah cara instan untuk mengeruk suara. Tidak hanya di Indonesia, negeri bapak Demokrasi , Amerika Serikat juga pernah menggunakan aktor senior Arnold Swenteiger.
            Tentu tidak lah salah parpol menggunakan cara instan ini untuk bertarung dalam pemilu. Karena konstitusi mengatakan siapapun boleh memilih dan dipilih. Kalau kita kembali merujuk tujuan sebenarnya diadakan Pemilu ? Melaksanakan kedaulatan rakyat, sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat, untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden, melaksanakan pergantian personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib (secara konstitusional), menjamin kesinambungan pembangunan nasional.
            Seperti yang ditulis diatas, begitu mulia sekali diadakan pemilu. Tentu butuh tenaga ahli di bidang masing-masing. Seperti Sabda Nabi “Barang siapa yang menanyakan sesuatu kepada yang tidak ahli, maka ditunggu kehancurannya.” Tapi tidak di negeri ini, dimana nasib kita dipegang orang yang tidak kompeten dan cakap. Maka arah pembangunan tidak jelas. Dan masa bakti pun habis untuk sekedar mempertahankan kekuasaan. Lengkap sudah penderitaan bangsa ini.
            Seperti yang kita lihat, tidak ada artis yang masuk ke Senayan untuk duduk di komisi-komisi strategis seperti Komisi 1,2 dan 3. Parpol pun juga akhirnya kebingungan menempatkan para artis tersebut dan dipilihlah komisi yang tidak terlalu berat. Namun tidak kelihatan pula hasil kerja mereka. Bahkan ada yang mundur untuk melanjutkan karir musik mereka.
            Di zaman ini, kita dimudahkan teknologi informasi. Kita bisa mudah mengakses siapa saja para calon wakil rakyat. Apakah mereka pernah terkena kasus korupsi, narkoba, pelecehan seksual dll. Namun masyarakat patut bersyukur, KPU Pusat memutuskan larangan napi koruptor untuk maju sebagai caleg.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang mantan narapidana kasus korupsi mendaftaran diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 2019 akhirnya disahkan. Ketua KPU RI Arief Budiman telah menetapkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten atau kota pada Sabtu, 30 Juni lalu, demikian yang dikutip dari laman resmi KPU RI, di Jakarta. PKPU tersebut juga mengatur larangan eks koruptor berpartisipasi sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2019, yang mana poin itu tertera pada Pasal 7 Ayat 1 huruf h, berbunyi "Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.”
Dengan ditetapkannya PKPU Nomor 20 Tahun 2018, ketentuan tentang larangan eks koruptor mencalonkan diri menjadi anggota legislatif sudah bisa diterapkan pada masa pendaftaran bakal caleg mendatang.
Namun masih ada saja parpol yang membangkang dan memfalisitasi caleg napi koruptor untuk maju? Pertanyaannya apakah kita masih percaya dengan parpol dengan segala kelicikannya? Masih mau kita mempercayakan nasib kita di tangan para bajingan?