Semua tajuk linimasa media sosial, media massa mainstream terus membahas pilkada dan tetek bengeknya. Mulai dari hal-hal positif seperti program-program unggulan calon bahkan hal-hal negatif seperti fitnah,tudingan dan kampanye hitam.
Apalagi saya juga aktif di Twitter dengan senjata trending topic-nya yang luar biasa. Fenomena ini sudah lumrah bahkan wajar semua orang saling menjatuhkan
sejak pilpres 2014 lalu. Sebenarnya Pilkada ini untuk siapa ? Siapa yang diuntungkan?
Baiklah saya hanya rakyat biasa, mahasiswa yang sedang berjuang untuk lulus tahun depan akan berusaha mengupas dengan senjata rasional dan akal. Sesuai dengan UUD 1945 kita menganut sistem demokrasi. Dimana sistem ini memfasilitasi rakyat untuk bersama-sama membangun bangsa. Itu titik poinnya.
Pemilu pertama diadakan tahun 1955 dengan sistem yang berbeda, dan tahun 2004 sebagai titik awal demokrasi yang dipilih langsung oleh rakyat. Dimana rakyat bebas memilih calon yang dianggap terbaik.
Ada hal yang saya saksikan saat pemilu tahun 2004, dimana saya masih kelas 2 SD. Saya menyaksikan sendiri ada sebuah parpol yang saya lupa namanya. Membagikan uang dan sembako kepada orang tua teman saya. Kemudian orang tua itu mengatakan kepada kami bahwa ini tindakan kotor yang dinamakan money politic.
Setelah bertambah usia dan sampailah di pemilu 2009. Akhirnya saya paham bahwa tindakan yang saya lihat waktu itu dilarang UUD dan sempat diperdebatkan dan masing-masing parpol mengatakan dirinya bersih. Sangat aneh sekali.
Setelah pemilu 2009 , di TV banyak sekali menteri, anggota DPR yang terkena kasus korupsi. Bahkan hampir tiap bulan ada terdakwa kasus tipikor. Otak remaja saya yang masih berkembang mencoba mencerna berbagai peristiwa memalukan di negeri ini.
Pemilu yang ‘katanya’ membawa perubahan justru menghancurkan negeri sendiri dengan perilaku kotornya. Lalu buat apa anggaran logistik Negara habis justru menggerogoti negara itu sendiri.
Lalu ada pengalaman pribadi saat Pilgub DKI Jakarta 2012 dan 2017. Dimana saat saya solat tarawih tiba waktunya ada ceramah. Sang penceramah pun membagikan brosur larangan untuk memilih pemimpin kafir. Kasus ini semakin terasa tahun 2017. Dimana lingkungan rumah saya terasa sangat sensitif sekali jika berbicara sedikit perbedaan. Belum lagi black campaign di media sosial yang saya sebutkan diatas.
Pertanyaannya sekali lagi, Pemilu ini sebenarnya untuk siapa? Jika kita meliihat seluruh kejadian diatas, seharusnya kita malu sudah berbuat yang tidak diajarkan agama apapun. Perilaku menghancurkan justru terjadi dimana-mana. Kita sendiri sebagai rakyat, akan terpecah belah jika kita tidak mampu berpikir rasional. Lalu apa untungnya pemilu? Yang terpilih juga akan dosa jika berbuat negatif, kita rakyatnya juga akan dosa jika terpecah belah dan saling menjatuhkan. Lalu negara pun juga akan terkena dampak negatifnya.
Rasa ingin menguasai sangat terasa jika pemilu akan tiba. Saling menyikut sana sini dimana alasannya adalah merasa mereka yang terbaik dari siapapun. Gagasan kelompok mereka paling baik. Merasa diri paling suci diantara yang lain.
Lalu munculah kelompok pro pemerintah dan oposisi. Dimana sikap kedua kelompok ini sangat lucu dan membuat kita ingin tertawa. Dari sinilah sikap fanatik tanpa rasional semakin mengakar di masyarakat. Pemimpin berkata ini , yang pro juga demikian. Begitupun sebaliknya.
Saya sebagai mahasiswa teknik informartika yang sedikit-sedikit mempelajari dinamika politik di negeri ini. Walaupun bukan mahasiswa FISIPOL dan Hukum. Saya melihat politik kita ini tidak tahu malu. Saat itu bisa kawan kemudian hari bisa jadi lawan. Nafsu kepentingan menjadi pondasi.
Lalu apa salahnya jika kelompok yang bernama oposisi ini saling mengisi, memberi saran dan masukan. Kemudia yang pro juga mendengarkan dengan bijak dan saling melengkapi. Agar kita rakyat Indonesia tidak bosan saat menonton televisi hanya melihat berita tidak bermutu seperti “Si A menganggap pernyataan B salah kaprah, bisa dipolisika” dan saling membalas. Hidup juga susah ditambah orang yang kita beri harapan malah ribut.
Lalu Pilkada ini sebenarnya untuk siapa?