Sore hari tepat pukul 3, aku diajak Tigor untuk ke rumahnya memanen cabai. “eh Jhon ayo ke rumahku kita panen cabai dan makan makan hahaha.” Ajak Tigor. Langsung saja aku menaiki motor tidak lupa keselamatan dan kelengkapan surat, takut tertilang polisi malah tidak jadi makan-makan nanti. Setelah tiba hampir 15 menit, Tigor sudah siap dengan pakaian dan alat untuk memanen.

            Aku pun juga bersiap-siap untuk ikut nimbrung. Tidak lama, koran langganan Tigor datang. Sejenak kami berdua membaca sebentar berita apa yang terjadi. Ternyata hari ini hari pahlawan. “Wah baru ingat kita. Haha udah seperti macam kids jaman now.” Celetuk Tigor.

            Selama 10 menit memanen cabai, pikiranku melayang-layang memikirkan hari pahlawan. Pikiran kritis dan analisaku pun berfungsi selagi aku sibuk memanen cabai. Dan inilah apa yang aku pikirkan.

Tepat 72 tahun lalu Bung Tomo menyiarkan kesemangatan untuk para pemuda Surabaya untuk menantang ultimatum tentara sekutu. Bahwa dalam tempo 1 x 24 jam, masyarakat Surabaya harus menyerah dan menyerahkan senjata rampasan perang kalau tidak sekutu akan memborbardir Surabaya lewat udara, tanah dan laut. Bisa dibayangkan seperti apa suasana mencekam yang dirasakan oleh masyarakat saat itu? Yang masih belum bisa lepas dari penjajahan meski sudah merdeka.

            Maka dari itulah keberhasilan para pejuang Surabaya menghalau tentara sekutu diperingati sebagai hari pahlawan. Dengan pengorbanan jiwa dan raga untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun sudah 72 tahun Indonesia merdeka, banyak sekali literatur-literatur yang membahas bahwa Indonesia belum merdeka.

            Seperti ungkapan Bung Karno “Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Dan benar saja, kita tidak bisa mengetahui mana musuh mana sahabat, terbukti dengan banyak kasus pemberontakan.

            Justru bukannya ini lebih berbahaya seperti membeli kucing dalam karung. Semakin banyak kepentingan yang bermain sehingga menimbulkan benturan. Lalu dimana posisi Pancasila saat ini? Atau hanya di buku-buku, di dinding instansi pemerintahan dan swasta?

            Kita tidak boleh lupa juga fenomena globalisasi yang muncul akhir 60an dan sekarang fenomena disrupsi. Dibalik kata modernisasi, sebetulnya kita juga lupa ada batasan-batasan yang membentengi diri kita dari pengaruh negatif. Negeri ini sedang mengalami perubahan dimana terjadi banyak benturan atara konvesional dan daring. Bisa ditengok di halaman depan koran yang berjudul “Demo ojek pengkolan vs ojek online.” “Bahh macam mana pula kau ini, jadi ribut terus setiap hari.” Ujar seorang teman dari Batak.

            Kembali ke dua bulan lalu yaitu akhir bulan September, sedang ramai-ramainya media membahas PKI. Apa itu PKI ? “ Partai Korupsi Indonesia yang lebih pantas Jhon, Jhon. Masa pejabat tidak malu sudah jadi tersangka masih menjabat. Sudah edan zaman ini Jhon” teriak temanku, Tigor sambil memanen cabai di halaman rumahnya. “Mengapa sih Jhon, masih membahas zaman dulu?” tanya Tigor. “Udah udah, kita fokus aja menanam cabai dan memanennya, kan istri kau pula tidak bakal teriak-teriak minta uang untuk beli cabai.” Kami pun tertawa bersama dengan bau cabai di tangan kami.

            Aroma sambal matah khas Batak pun tercium di dapur rumah Tigor. Menemani malam ini yang agak dingin. Enak pula si Tigor, istri cantik, dan mampu memenuhi kebutuhan dapurnya sendiri. Lalu aku pun membuka obrolan malam hari ini. “Apakah kau punya solusi bagi bangsa ini Gor?”. Tanyaku. Sambil menghisap rokok , Tigor pun menjawab “Wah gak tau Jhon, kamu kan yang pinter.”

            Apakah bangsa ini harus menambah perguruan tinggi dan menambah orang bergelar banyak untuk menemukan solusi bangsa ini. “Alah Jhon-Jhon , yang korupsi pejabat semua kok, orang pintar semua, macam mana pula kau ini bahh.” Aku pun terhenyak mendengar pernyataan Tigor.

            Sambil beristirahat menikmati kopi hangat dan rokok dan menunggu masakan istri Tigor. Aku pun membuka Hp dan mulai melihat youtube. Aku pun penasaran dengan jawaban solusi bagi bangsa ini. Tidak sengaja aku mengetikkan kata Kiai, dan muncullah akun bernama kiai tanjung. “Eh Tigor kita lihat video ini dulu lah ada materi bagus nih.” Ajakku. Dan Tigor pun mengiyakan.

            Bunyi jangkrik yang dipelihara Tigor dan suara kodok pun menemani kami mendengar kajian kiai tanjung. Setelah hampir 25 menit, tiba-tiba istri Tigor menyapa “Eh Bang, udah matang ini masakannya. Ayo makan sebelum dingin.” Dan sudah berakhir pula kajian kiai tanjung. Aku pun sambil menoleh ke arah Tigor mengenai kajian tadi. “Wah sangat logis dan rasional ya.”

            Setelah sampai di meja makan, kami bertiga pun menikmati jengkol balado plus petai serta ikan goreng ditemani nasi hangat. Disela-sela makan Tigor pun menyeletuk. “Kita harus berjuang menahan nafsu diri kita supaya keselamatan meghampiri.” Belum pernah aku mendengar Tigor berkata sebijak itu. Istrinya pun menjawab “Iya bang, harus melawan nafsu untuk menjatuhkan, menghina dan mengolok malah harus membantu dan menolong.” Wah semakin bijak keluarga kecil ini.

            “Misalnya jika kita ingin menyebarkan berita, kita harus menahan nafsu , cek dulu apakah itu berita hoax. Jangan sampai memecah belah bangsa. Semua perilaku kehidupan, segala aktifitas jika kita mampu mengendalikan diri maka semua mendapat keselamatan. Ujar Erlina, istri Tigor.

            Sangat tepat sekali apa yang disampaikan oleh Kiai Tanjung, bahwa kita semua harus mampu mengendalikan diri sendiri untuk menuju merdeka lahir batin. Segala aktifitas kita harus disertai pengendalian diri, seizin Tuhan akan membawa maslahat bagi semua dan menjadi solusi bagi bangsa. Malam yang indah ditemani hasil panen cabai dan diakhiri sempurna oleh sambal jengkol.