Seperti biasa menjelang tidur aku membaca buku IPA (Ilmu pengetahuan alam), biasanya bisa habis satu buku tersebut. Walaupun sudah habis, aku masih saja terus membaca ulang buku ipa tersebut. “Wah seru ya bisa liat bulan , planet dan matahari. Sangat indah kalau bisa melihat langit penuh bintang. Di Jakarta gak bisa sih.” Gerutuku saat itu.
                Disebuah pinggiran danau Sunter , Jakarta Pusat berdirilah sebuah bangunan yang “megah” bagi aku walau hanya berukuran 50x70 meter. Dirumah itu hidup keluarga yang terdiri 3 orang, orang tua serta aku sendiri, sedangkan aku sendiri masih bersekolah kelas 6 sd(13 tahun). Perkenalkan namaku adalah Ali Akbar, anak ketiga dari pasangan Pak Joko dan Ibu Zubaidah
                Walaupun hidup sederhana dengan penghasilan, bapakku yang bekerja sebagai pedagang sayuran dan ibu yang bekerja sebagai penjahit, aku sangat bahagia dengan kasih akung keluargaku. Didikan orang tuaku yang mengajarkan kerja keras dan dedikasi tinggi membawa aku sebagai anaknya tetap bekerja keras menggapai mimpi.
                Berbicara mengenai impian dan cita-cita aku yang masih berumur 13 tahun, masih belum jelas apa yang aku ingini. Perihal pertanyaan nanti mau kerja dimana, sebagai apa, mau punya penghasilan berapa tidak membuatku tertarik.
                Seperti yang aku ceritakan diatas , aku lebih senang membaca buku. Membaca buku apapun yang aku temui di sekolah lalu meminjamnya. Tidak jarang pula aku ikut ke rumah teman untuk meminjam buku. Kecanduan ku membaca buku seperti alergi di lingkunganku. Teman-teman sekelas ku pun turut “sedikit” menjatuhkan mentalku. Kadangkala aku dibilang sok dewasa di umurku yang baru berusia 13 tahun.
                Kesenangan ku membaca itu diturunkan dari kesenangan bapakku. Saat aku kecil dulu, bapak sering menceritakan kisah-kisah 25 nabi dan dongeng-dongeng Indonesia. Saat itu pula aku terkagum dan membayangkan diri sendiri masuk ke masa lalu. “Betapa hebatnya si penulis-penulis itu bisa bikin cerita bagus.”
                Bapak ku pun tidak ketinggalan untuk terus membaca walaupun di uisanya yang menginjak 55 tahun. Bapak sering mendapatkan buku secara gratis dari teman-teman pemulungnya sebagai gantinya bapak memberi satu ikat kangkung. “Wow hebat rela memberi sayuran gratis untuk sebuah buku.” Kenangku saat mendengarkan cerita bapak.
                Kenangan keluarga yang penuh kasih akung berubah saat aku mau masuk SMP di pertengahan tahun 2005. Dengan nilai UASBN yang cukup untuk masuk SMP favorit di Jakarta , permasalahan-permasalahan seakan terus muncul di kehidupan keluarga kami.
                Sistem pendidikan di negeri Indonesia saat itu belum terlalu bagus. Walaupun sudah ada bantuan untuk siswa tidak mampu, namun tetap saja ada pungutan liar yang menghantui dengan berbagai alasan. Aku mempunyai keinginan masuk ke SMP ..... namun apa daya dengan segala pertimbangan keluarga, akhirnya aku masuk ke SMP .... yang notabene fasilitas belajar kurang memadai. “Padahal sekolah itu bagus dan pasti punya buku yang bagus.” Ucapku dikala kesedihan itu.
                Bapakku menghampiri dan berkata “Lihat bapak mu ini Li, walaupun bapak tamat sekolah dan berhenti sampai SMP. Namun tetap semangat mencari ilmu, bapak biasa meminjam buku kepada teman. Dulu kalau mau mendapatkan buku susah, apalagi dikampung.” Ucap beliau.
                Dengan sekejap, aku pun teringat kembali ke masa sekolah dasar. Teringat bahwa saat itu tetap semangat membaca buku dengan berbagai cara. Mulai dari meminjam teman sampai menabung uang jajan selama 2 bulan untu beli buku keakungan. “Iya pak, aku ingat. Dulu aku pernah berjuang untuk sebuah keyakinanku.”Ucapku lirih.
                Mulai saat itu, aku tidak gentar menghadapi tantangan dan menyambut masa depan. Aku akan terus berjuang seperti apa yang telah aku lakukan dan akan terus berjuang. “Cuma masalah kecil aja udah cemen. Harus kuat dong.” Hiburku dalam hati.  Ditengah-tengah antara waktu maghrib dan isya sebuah program TV menayangkan talkshow tentang seorang pemuda yang mampu menulis banyak buku dan terkenal hasil karyanya. Pembawa acara pun di akhir acara memberikan kesimpulan bahwa “ilmu yang sudah kita baca, sebaiknya kita tuangkan kedalam tulisan agar manfaat dan berkah untuk semua orang.”
                Setelah merapikan buku pelajaran untuk esok, aku berbaring untuk melepas lelah sejenak. Sambil manatap langit-langit kamarku, aku pun kembali teringat dengan acara Tv tadi. “Wah bagus ya orang itu , dia menulis apa yang sudah dia baca dan pahami. Serta bisa menjadi manfaat untuk semua.”
Sambil terus berpikir dan mengkhayal terlalu jauh, aku dikagetkan dengan suara teriakan ibu. “Ada apa Bu? Ibu kenapa?” ucapku panik. Ternyata ibu saat itu jatuh dari kursi ketika mau mengambil garam di almari. Sontak saja aku mencari pertolongan ke tetangga, puji syukur alhamdullilah ada tetangga yang mau mengantarkan ke rumah sakit. “Waduh bapak kemana ya?” tanyaku dalam hati.
                Setelah dianalisa dokter, ibuku ini cedera pada bagian paha dan lutut akibat memang sudah berumur dan saat jatuh tidak bagus posisinya. “Waduh bapak mana nih?”tanyaku dalam hati. Beberapa saat kemudian , bapak datang dengan tergesa-gesa dan menangis disamping kasur ibu. “maafkan bapak bu tidak ada saat ibu kesulitan.” Ucap bapak sambil terisak.
                Sambil menunggu ibuku berbaring istirahat, aku lihat nampak bapak sangat gelisah. “Ada apa sih pak?” tanyaku. Beliau hanya menggeleng dan menyuruhku tidur karena waktu sudah larut. Seperti biasa kebiasaan sebelum tidur adalah membaca buku. Namun akung aku lupa membawa buku. Setelah berpikir keras, akhirnya aku pun memutuskan untuk menulis apa saja yang aku pikirkan.
                Setelah mendapatkan kertas dan pensil dari tas sekolah yang aku bawa, aku pun langsung mencoba menulis. Memang awal nampak bingung dan grogi, namun teringat kembali acara talkshow tersebut aku pun langsung menulis. Sangat sederhana, hanya menulis aktifitas apa yang telah dilakukan dan menghabiskan 2 lembar bolak-balik. “Wah kok enak gini ya? Gampang banget, ngalir aja.” Dalam hati terasa puas walau badan capek seharian.
                Selama tiga hari aku dirumah sakit hingga ibu diperkenankan pulang, aku telah menghabiskan 10 lembar kertas bolak-balik. Jumlah yang cukup banyak bagiku saat itu yang notabene “awam” dalam menulis. “Wah kehabisan kata-kata nih, perlu kosakata baru.” Ucapku.
                Namun disaat aku mencari buku-buku sekolahku, dan buku-buku yang aku temukan dijalan pun mendadak tidak ada. “Wah kemana nih?” ucapku sambil kesal. Setelah sekian lama mengingat dan mencari , bukuku benar-benar tidak ada !! Wah gawat, siapa yang menghilangkannya?
                Saat sibuk mencari buku, bapak pun pulang. Tiba-tiba beliau menghampiri dan berkata “Maaf nak, buku-bukumu itu sudah bapak jual untuk biaya pengobatan ibumu.” JEGEERRR dan jeglek batin ini tergoncang, teringat kembali bahwa bapak merelakan sayur untuk ilmu. Namun sekarang ilmu malah diperjualbelikan. Sontak aku pun kecewa dan marah, namun tidak bisa aku ungkapkan. Karena uang hasil penjualan buku untuk biaya obat ibuku. “Ya Tuhan.” Malam itu dan esoknya hidup seperti hampa tanpa buku. Tidak ada kosakata baru dan review ilmu baru.
                Ide pun muncul saat tengah malam aku terbangun dan keluar rumah menatap langit. Langit begitu indah untuk dilewatkan. Berbagai macam ciptaan Tuhan yang luar biasa. Rasanya bagaimana aku bisa ke langit dan menembus batas. Enak rasanay jika berandai terbang ke langit, bebas menembus keraguan dan ketakutan. “Nah bagaimana jika aku menulis tentang langit dan menembus batas kemampuan?” ucapku riang dan semangat. Setelah hampir 20 menir menatap langit sampai-sampai leher pegal, aku pun tidur kembali.
                Keesokan harinya , matahari bersinar sejuk dan tidak panas. Aku pun bersiap-siap menuju sekolahku. “Pak, bu aku pamit ke sekolah.” Ucapku sambil menyalami orang tuaku. Baru beberapa langkah aku keluar rumah, tiba-tiba ibu kembali berteriak. Aku pun langsung menuju sumber lokasi kejadian dan benar saja ibu terjatuh kembali. “Pak ibu kenapa nih?” tanyaku sambil terisak. Begitu miris melihat kondisi ibu yang kembali jatuh.
                Namun keuangan keluarga sedang tidak normal mengahadapi cobaan ini. Terpaksa ibu hanya dirawat dirumah saja dan bapak memanggil tukang urut untuk meminimalisir cidera kaki ibu. Aku lihat bapak kembali bersedih melihat kondisi ibu. “Mengapa bapak dulu tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak? Apakah membaca buku mampu menyelesaikan masalah ini.” Ucap bapakku.
                Mendengar perkataan beliau seperti tersambar petir di siang bolong. “Bagaimana mungkin bapak berkata seperti itu? Tidak menghargai sebua ilmu.” Kataku dalam hati. Tentu saja aku sedih, teringat kembali bagaimana bapak mendidik untuk gemar membaca.
                Setelah dua jam tertidur, ibuku bangun dan aku juga terlelap disamping beliau. “Li, kamu gak usah dengar bapakmu tadi. Ibu paham melihat bapak frustasi. Namun kamu jangan goyah atas keyakinanmu sendiri.” Ucap ibuku. Aku pun kaget Ibu mendengar perkataan bapak, sedangkan saat itu beliau nampak tidur. “Nih, ibu ada sedikit uang. Beli buku yang kamu inginkan sana.” Perintah beliau. “Sudah gak usah bu, uang buat berobat aja bu.” Balasku. Namun beliau memaksa dan berkata “Ibu sudah pasti sembuh kok, cuman keseleo aja ini.” Ucap ibu tersenyum. Banjir air mata tak mampu terbendung lagi.
                Benar saja , frustasi bapakku semakin menjadi-jadi. Beliau sekarang menyuruhku bekerja sebagai tukang semir sepatu. “Mulai saat ini kamu bekerja sebagai tukang semir sepatu.” Ucap beliau tegas dan marah. Namun apa daya, aku tidak mampu menolak melihat kondisi keuangan dan kesehatan ibu yang kunjung belum sembuh.
                Keesokan harinya, aku sudah bersiap bekerja dan tak lupa membawa buku yang masih tersisa di lemariku. Dengan perasaan sedih karena bapak menyuruhku bekerja, aku tetap melangkah dan naik angkot ke lokasi strategis. Hari demi hari aku jalani sebagai tukang semir dengan upah hanya 10 ribu menyemir dua sepatu. Kadang aku menyembunyikan diri melihat teman-teman sekelasku lewat dan naik turun angkot di tempat bekerjaku.
                Setelah lelah bekerja, pukul 3 sore aku kembali ke rumah. Uang aku sisihkan 5 ribu sebagai biaya membeli buku. Nampak ibu masih berbaring tidak mampu berdiri. Semua kebutuhan beliau aku yang mengurusnya. Bapak kembali bekerja pukul 7 malam dan membelikan kami makanan untuk makan malam. “Bapak bangga kamu ikut membantu, lebih baik bekerja dan dapat uang.” Ucapnya sambil mengunyah nasi goreng.
                Hari ini, sudah 3 minggu aku bekerja. Dan bapak mengajak ibu ke rumah sakit untuk diperiksa kondisi kakinya. Jumlah uang yang terkumpul semoga saja cukup untuk mengobati ibu. Aku pun menunggu di ruang tunggu, sembari menunggu aku membaca buku yang aku bawa. Aku kaget saat orang tuaku menghampiri dan ibu duduk di kursi roda. “Ibumu kena lumpuh sebagian Li, kaki ibu mu sudah lumpuh. Kursi Roda ini pun juga disewakan oleh rumah sakit.” Ucap bapakku menangis.
                Sejak saat itu, dirumah tidak ada lagi canda tawa keluargaku lagi. Bapak dan aku sibuk bekerja, sementara ibu diurus oleh bude yang tinggal di Depok. Saat itu pula ibuku tidak terlihat ceria kembali, hanya menangis menahan kesedihan akibat tidak mampu lagi berjalan dan mengurusi aku dengan baik.
                Di hari Sabtu yang cerah, aku pun bersemangat bekerja kembali setelah semalam aku merenung. “Aku harus giat dan membeli buku, lalu menulis dan mungkin bisa diterbitkan. Uangnya akan aku belikan kursi roda yang bagus dan nyaman untuk ibu.” Saat sedang asyik membaca sembari menunggu pelanggan datang, tiba-tiba ada pria tampan dan rapi memakai jas dan berkacamata menghampiri meminta disemirkan. “tadi lagi baca apa dek.” Tanyanya. “Hmm baca buku ipa sd pak.”Jawabku. “Lah kok ipa sd?” “Iya pak, saya tidak sekolah lagi sebulan ini. Bantu bapak untuk pengobatan ibu yang lumpuh.” “Berarti kamu senang baca ya dek?” tanya nya sambil memberikan uang 30 ribu. “Kebanyakan pak.” Kataku. Beliau pun mengatakan tidak apa-apa.
                Setelah beberapa langkah berjalan, pemuda tadi berbalik dan menghampiriku kembali. “Dek, ini ada lomba menulis cerpen tingkat SD-SMP. Nih brosurnya jikalau berminat. Besok senin saya semir sepatu disini lagi aja dek.” Ujarnya sambil tersenyum. Aku pun sontak berteriak kegirangan dan membuat orang disekelilingku heran. Dan terlebih lagi uang yang aku kumpulkan ternyata jauh dari cukup untuk membeli buku. “Alhamdulilah ya Allah.”
                Setelah merapikan alat dagangan, aku pun menaiki angkot dan menuju Toko Buku Gramedia Mantraman. Seteah sampai, aku pun takjub melihat besarnya bangunan itu. “Pasti banyak buku bagus nih.” Setelah berkelilig mencari buku yang aku suka, namun belum ada yang membuaku tertarik. Setelah duduk sebentar, aku pun menemui bazar buku murah-murah. Nampak buku bertemakan perjuangan astrononot dan menjadi manusia pertama di bumi yang menginjak bulan. “Wah murah nih cuma 15 ribu, sekalian beli dua aja.” Hari itu aku membeli dua buku yang menceritakan astronot dan sejarah Indonesia.
                Ditengah perjalanan , aku kembali melihat brosur dan batas pengiriman tinggal dua hari lagi. Sontak saja aku panik dan bingung. “Harus mulai nulis malam ini.”
                Setelah makan malam dengan orang tua dan bude aku pun beranjak ke kamarku. Aku pun memutuskan untuk menghabiskan buku astronot yang bertebal 250 halaman. Setelah 1 jam aku membaca, aku pun bingung mau menulis cerpen apa.
                Tidak terasa aku pun terlelap karena capek tanpa berhasil menulis cerpen satu kata pun. Saat subuh mengumandang, aku kaget dan kecewa mengapa aku tertidur.
                Setelah melalui pertimbangan matang, aku pun memutuskan tidak bekerja dulu hari ini. Target ku adalah jam 1 selesai dan ke tempat bekerja untuk menemui pemuda tadi. “Ibu dukung nak.”
                Cerpen pun aku buat mengalir tanpa ada halangan sedikit pun. Otak dan tanganku mulai terlatih untuk menyalurkan kata-kata dalam kertas. Setalah perjuangan selama 1,5 jam itu, aku pun berhasil membuat cerpen sebanyak dua lembar kertas dan menstapleskan agar tidak lepas.
                Aku pun minta restu ibuku dan berlari menuju tempat kerjaku, setelah sampai disana sudah nampak pemuda kemarin yang menunggu untuk disemir. “Oh iya maaf pak sudah menunggu. Ini hasil cerpen saya, tolong diikutkan lomba ya pak.” Ucapku sambil memohon. Setelah melihat hasil tulisanku, pemuda yang bernama Raka ini mengabulkan permintaanku dan akan mengetiknya sore ini. “Iya dik, akan saya ketik sesuai format pendaftaran lomba.”
                Setelah bekerja selama dua jam saja, aku pun kembali ke rumah. Nampak bahagia dan bangga aku sudah emnyelesaikan cerpen pertamaku. Rumah dan ibu nampak begiru tenang dan adem. Kulihat ibu sudah kembali tidur setelah aku tinggalkan tadi sedang membaca al-Quran.
                Aku pun memutuskan untuk libur sehari dulu karena kondisi badan yang hampir copot kelelahan. “Aduh capek banget nih. Libur dulu sehari aja deh.” Ibuku bertanya bagaimana hasil perlombaan cerpen yang aku ikuti. “Ali hanya bisa berdoa bu, ali udah berusaha.”
                Keesokan harinya, di hari Senin yang ramai karena hari pertama bekerja. Aku pun ikut sibuk melayani pelanggan yang tidak sempat menyemir sepatunya karena terlambat. Setelah solat dzuhur dan makan siang, aku menunggu pemuda kemarin. Benar saja , namun pemuda itu berlari ke arah ku. “Kenapa buru-buru banget ya?” “Ini dik, ada kabar pemenang lomba cerpen itu. Pemenangnya kmu dik, beneran gak bohong. Ini ada surat resminya.” Tertulis disitu namaku dan judul cerpenku yang aku buat sebagai pemenang juara lomba cerpen SD-SMP. Aku pun diundang ke penyerahan juara besok di Gramedia Mantraman. “Besok aku jemput dik sekeluargamu, minta alamatnya ya.”
                Aku sontak menangis bahagia dan sujud syukur di hadapan pemuda itu. “Alhamdulillah, aku bisa membelikan kursi roda ibu supaya tidak sewa lagi.” Ucapku. Aku pun langsung kembali ke rumah pukul  sore dan memberitahukan kabar bahagia ini ke keluargaku.
                Keesokan harinya pemuda itu menjemput kami sekeluarga. Nampak hari itu keluarga ku bahagia atas keberhasilanku, tidak terkecuali bapak. “Nak, bapak bener-bener bangga dengan prestasimu. Bapak yang salah karena telah meragukanmu.” Ucap bapak sambil memelukku. Di siang itu pukul 11, aku dikukuhka sebagai juara lomba dan berhak mendapat sertifikat, piagam, pembinaan dan uang bonus. Hari itu juga, aku membelikan kursi roda baru untuk ibuku. Semenjak itu aku kembali besekolah dan aktif menjadi penulis. Alhasil di akhir tahun 2006, aku sudah menulis 2 buku dan membawa  keluargaku menjadi lebih baik.