HIJRAHLAH KE DALAM AKU
Gemerlap bintang yang terang sudah setia menemaniku di atas
langit ini. Tidak hanya itu , aku mampu melihat keindahan terbitnya matahari,
indahnya bulan purnama. Sungguh nikmat hidup yang ku jalani ini. Dalam batin
“apa jadi nya jika Sang Garuda itu tidak menyelamatkan ku, pasti hidupku tidak
seindah saat ini”. Itulah yang aku rasakan setiap sore sambil menikmati
terbenam nya sang Surya. Aku tinggal di awan yang sangat luas, bersih dan
indah. Berbeda dengan kehidupan yang dulu ku jalani di bawah sana, kehidupan di
bumi. Penuh dengan hiruk pikuk , segala macam kebohongan yang tiada pangkal nya
bahkan ujung nya. Sungguh aneh memang, nama tambahan dan gelar di belakang tidak
mampu mengangkat mereka dari kebodohan.Dari kebodohan yang mengukung kejernihan
dalam berdunia dan berakhirat.Menurutku bumi bagaikan kuburan yang besar,
terasa sempit sekali, gelap menggelapkan, panas, sumpek dan masih banyak hal
lain.
Aku sudah merasa sangat bahagia di atas sini, aku bahkan juga
tidak berkeluarga. Tidak punya istri tidak masalah bagiku. Yang penting bagiku
aku bisa merasakan keindahan dan kebahagiaan di atas sini. Dalam keadaan
menikmati sore hari, sang Bulan dan malam pun bergilir mengganti tugas Sang
Srengenge..
Yaa namaku adalah Amukti, itu adalah nama pemberian dari
Garuda. Sosok yang sebelumnya tidak aku ketahui selama kehidupan di dunia.
Tidak ku bayangkan sebelumnya bahwa apa yang aku perbuat selama di dunia selalu
berorientasi kerusakan.
Dan malam pun tiba , sinar rembulan menghiasi langit ini.
Sangat teduh sekali. Tiba-tiba ada seekor burung hantu yang bernama Luhur
datang menghampiriku. “Hei Amukti, apakah kau melihat tanda-tanda bahwa dunia
sudah mulai berlaku Sunnatul Awwalin?” Tanya nya. “Hmm tidak wahai Luhur, memang
seperti apa tandanya? Jawab ku. “Apakah kau mendengar suara tangisan dari Sang
Bumi melalui letusan gunung, tinggi nya air tsunami, kebanjiran, tanah longsor
dll? Atau mungkin sedikit lebih peka bisa mendengar suara kawan-kawanmu dulu
yang sekarang sedang kesusahan?
Secara tidak langsung ucapan Luhur tersebut mengingatku
kembali atas kehidupanku di bumi dulu. Otak ku mengeluarkan suara gagasan
“Apakah kau yakin tidak mau kembali dan menolong teman mu?” Tiba-tiba aku
berteriak memecah keheningan malam dan Luhur pun terkaget mendengar teriakan ku
”Tidak , aku tidak mau kembali. Aku cuma takut aku tidak akan kembali ke tempat
indah ini”
“Apa maksudmu wahai Amukti?” Tanya Luhur dengan penasaran.
“Tidak apa-apa Luhur, aku hanya melamun sebentar”.*****
Tempat Ujian yang namanya
Dunia
Teriakan orang-orang sudah sering ku dengar.
“Maling-maling!! , jangan kabur kalian !! Dalam batin “Tidak mungkin kalian
mengejarku hehe, aku sudah menjadi kaya dengan harta ini”. Temanku menyaut “
Hehe, mantap Muk, kita bisa minum-minum sampai puas” Tertawa puas temanku yang
bernama Fana. Tidak lama kemudian temanku menyaut lagi “ Bisa menyewa
gadis-gadis lagi dong hehe.” Sambung temanku yang bernama Fasad. Kami bertiga
berteman akrab. Dalam melakukan hal kejahatan kami selalu kompak. Nama ku dulu
adalah Amuk. Tidak tahu apakah orang tua ku yang memberi nama tersebut. Yang
jelas aku pasti suka melakukan hal gila, terlebih dalam hal mengamuk. Tidak
pandang bulu, kalau perasaanku sudah tersinggung, siapa saja sudah ku libas.
Seperti dulu saat di panti asuhan, aku sering marah jika aku tersinggung. Sudah
banyak korban dari amukanku. Dan pihak panti asuhan pun kelawahan menghadapi
aku. Pantas aku di beri nama Amuk. Aku sangat di kenal sebagai orang yang tidak
suka bersosial. Menurutku orang lain tidak penting, aku bisa melakukan hal-hal
apapun sesuka ku. Aku merasa bahagia jika melihat orang lain sengsara.
Panti asuhan hanya menjadi tempat pertama dan terakhir aku
menjalani pendidikan. Semua terasa aneh.
Dulu aku sering mendapat nasihat dari
guru-guruku. Salah satu guru yang terkenal penyabar dalam menghadapiku ialah Bu
Hikmah. Beliau sering mengatakan “Ayo nak, lekas kembali ke dalam dunia yang
tidak akan hancur”. Aku pun belum mengerti apa yang Beliau maksud. Dan Beliau
juga sering membawa imitasi burung garuda yang sering di tempel di ruang kelas.
Sambil menerangkan,Beliau juga bermain-main dengan burung garuda tersebut.Sambil
berkata “Ayo terbanglah Wahai Garuda, bawa kami ke kedamaian. Selalu dalam
lindungan dan ampunan-Nya, dan ingat anak-anak Rahmat Tuhan tidak akan pernah
terputus, akan selalu ada di tengah-tengah umat-Nya. Carilah sang Garuda,
terutama kau Muk, Ibu yakin kau akan terbang bersama-Nya” Begitulah kata-kata
yang selalu ku ingat. Ya hanya itu.
Tapi agak berbeda dengan temanku yang bersama Fasad, dia
masih suka melakukan hal-hal baik, seperti beribadah. Tapi aku heran mengapa
perilakunya sangat berbanding terbalik. Dia pun menjawab “Aku masih percaya
khayangan/surga di atas sana. Pasti di sana masih banyak kenikmatan. Hidup itu
tidak usah di bawa susah, yang penting di dunia nikmat, dan kelak mati pun juga
nikmat”. Seperti itulah jawaban temanku. Yasudah tidak apa-apa, memang prinsip
orang berbeda-beda.
“Tuhan, apakah ada yang namanya Tuhan?” begitulah yang ada
di dalam batin. Sering menganggu dan mengusik ku tiap malam. Aku dan
teman-temanku hidup berpindah-pindah. Kadang di emperan toko, di bawah
jembatan, di pinggir jalan dan masih banyak tempat-tempat tidak layak lain nya.
Aku hidup di kota yang bernama Zandik. Sebuah kota yang
sangat aneh. Di mana semua dapat berkuasa dengan kejahatan. Dan ada pelacur
yang tampil menjadi figure masyarakat. Yang lebih jahat pasti menang. Tapi
mereka tidak berpakaian seperi kami. Yang memakai baju sobek-sobek, anting di
sana-sini, badan bau minuman alcohol. Tapi mereka mengenakan dasi, jas, jam
tangan mewah, berkendara dengan mobil limosin. Sungguh aneh memang, seakan-akan
kejahatan lebih baik dari kebaikan. Aku tambah semakin bingung, Tuhan seperti
kata orang-orang sangat mengutuk orang-orang yang berprilaku buruk. Tapi
kenyataan nya mereka di beri kenikamatan dan kemewahan. “Lalu, di mana Tuhan?”
Pikir ku lagi. Lalu Fasad temanku berbicara “Di mana Tuhan itu tidak penting,
yang penting aku yakin ada kenikmatan dan ganjaran yang bagus di surga sana.”
Lalu Fana menjawab “ benar apa yang kamu bicarakan Fasad,
aku akan mengikutimu melakukan hal baik sebanyak-banyaknya, tidak apa-apa
melakukan hal-hal buruk yang penting masih ada tabungan perilaku baik. Di dunia
dapat kenikmatan di surga pun juga dapat, sekali mendayung dua tiga pulau
terlampaui”
Suatu hari, di Kota Zandik akan mengadakan pemilihan kepala
daerah (pilkada). Menggantikan kepala daerah yang lama. Ya inilah saat
kejahatan dan kecurangan benar-benar memegang kendali. Di mana puncak kriminalitas
sedang berada di puncak. Semua menjadi
buta kekuasaan. Saling santet pun terjadi, tak ayal ini membuat petugas semakin
kewalahan, berbanding terbalik dengan jumlah kriminalitas yang ada.****
Menuju Fadhal-Nya
Suatu malam kami beristirahat untuk menyiapkan rencana besar
untuk merampok salah satu kandidat kuat pemenang pilkada. Kami bertiga pun
tidur di taman kota. Di tengah malam aku terbangun, tiba-tiba aku merasa haus
dan ingin minum. Dalam keadaan minum, tiba-tiba aku mendengar suara ibu-ibu minta
tolong. Pikirku “Buat apa malam-malam gini, mending tidur saja lagi”. Tapi
batin dan nurani berkata” Mungkin inilah jalan terakhirmu menemukan Tuhan, ayo
lekas bantu dia”. Setelah berpikir agak lama, akhirnya aku telusuri di mana
sumber suara itu berasal. Dan sampailah di rumah sederhana di pinggiran kota.
Setelah aku masuk, ternyata seorang ibu yang ingin melahirkan. Aku pun
kebingungan, tidak aku bayangkan, aku belum pernah mengurusi hal yang satu ini.
Ku putuskan keluar dari rumah kecil sederhana untuk memanggil bantuan orang
lain. Setelah berkali-kali ku berteriak, aku masuk kembali dan ibu itu
menyerahkan kunci motor almarhum suaminya, “Ayo nak, ibu minta tolong antarkan
ke rumah sakit, Ibu sudah tidak tahan lagi nak, pakai saja motor almarhum suamiku”
Tanpa berpikir panjang, ku bopoh dia dan ku antar ke rumah sakit.
Nasib baik datang menghampiri ibu itu, tidak terlambat !
Sambil menunggu, ku rebahkan diri bersandar dinding. Aku pun terlelap, dan
semuanya gelap!
Tidak terasa aku sudah lama tertidur, di saat membuka mata.
Aku pun takjub dan tidak percaya. Sangat terang, sangat lapang. Aku berada di
alam di mana semua bersaksi atas Kehadiran-Nya. “Qulu bala syahidina” “Ya saya
bersaksi atas Kehadiran Mu”. Semua bakal calon bayi itu kompak dalam mengatakan
hal tersebut. Tiba-tiba aku mendengar
suara tangisan yang cukup menyayat hati. Yap suara tangisan bayi yang sudah
lahir ke dunia. Dari raut wajahnya terlihat bahwa mereka sangat sedih berpisah
dengan alam Kehadiran-Nya. Seiring bertambah sedih tali pusar mereka di potong.
Aku jadi paham kenapa bayi selalu menangis saat di lahirkan. Karena mereka
pisah dengan alam yang memberikan mereka kebahagiaan dan kenyamanan. Mereka pun
siap tidak siap harus hidup di dunia.
Yang selama ini aku anggap aneh, tidak
wajar, ironis dan gila !
Tapi ada satu hal aneh yang mengingatku akan suatu hal. Yap
ucapan Ibu Hikmah saat aku di panti asuhan dulu. “Terbanglah bersama Garuda ke
dalam Kehadiran-Nya” sambil ku ulangi apa yang pernah di bicarakan oleh Beliau.
Ini benar-benar terjadi Sang Garuda itu terbang dari bumi ke atas sini sambil
membawa benih dari setiap jiwa yang mati. Sang Garuda itu tampak bukan terlihat
seperti burung. Takjub, tidak bisa ku gambarkan !
Lalu, Sang Garuda itu menanam benih itu dan berubah menjadi
pohon yang rindang. Tapi tidak setiap jiwa yang mati di ambil benihnya dan di
bawa ke atas sini dan berubah jadi pohon. Hanya sedikit sekali yang di ambil
benihnya. Berbeda dengan yang tidak di ambil benihnya, mereka membusuk di
dunia. Perbandingan nya mencapai 5% dari total penduduk bumi. Aneh sekali! “Apa
yang terjadi sebenarnya?” Lalu aku pun berani bertanya kepada Sang Garuda usai
menanam benih-benih. “Di mana aku sekarang? Apa yang sedang terjadi? “ Tanya ku
kepada nya. Beliau menjawab “ Kau sekarang berada di Cakupan-Nya, kau berada di
sini karena kau terus mencari Tuhan itu seperti apa”. “Padahal aku tidak pernah
melakukan hal baik sekalipun di dunia, hanya saja aku tadi membantu seorang ibu
dan aku yakin ini adalah cara menemukan jalan Tuhan yang terakhir”
Masuk dalam Cakupan-Nya
“itulah,
kau melakukan dengan sepenuh hati untuk peduli. Kau tahu, bahwa Rahmat-Nya
tidak akan terputus di dunia dan selalu mengada di tengah-tengah umat-Nya. Aku
khawatir terhadap suatu masa yang roda
kehidupan nya dapat menggilas keimanan.Keimanan hanya tinggal pemikiran tanpa
bekas dalam perbuatan. Ada orang berakal tapi tak beriman, ada yang lidahnya
fasih tapi hatinya lalai. Itu sudah benar-benar terjadi di jaman ini. Sadar kah
kau?” Begitu ucapan Sang Garuda dengan sangat bijak, sangat cocok di contoh dan
di ikuti oleh manusia di bumi.
“Lalu
apa penyebab kebanyakan manusia yang mati tidak Kau bawa benihnya?” tanyaku
dengan penasaran. Dengan tenang sang Garuda itu menjawab “ Gampang saja, mereka
tidak merawat benih yang di tanam oleh Tuhan untuk di rawat dengan Air dari
Ilmu-Nya. Mereka terlalu focus merawat jasad saja. Benih tumbuh di tanah yang
subur. Bumi saja mereka tidak rawat , apalagi dada mereka, yang kami ibaratkan
sebgai tanah. Kita semua sebagai makhluk-Nya berasal dari yang tidak wujud.
Yang Wujud hanyalah Dia. Hakekatnya kita sebagai makhluk itu tidak ada. Mengapa
kebanyakan manusia terlalu berorientasi yang tidak ada, padahal Yang Wujud
tidak mereka cari. Harus sebenar-benarnya mencari, bukan hanya nama. Sama
seperti temanmu lakukan itu. Bukan itu yang Tuhan maksud. Jadi Hijrahlah ke
dalam Aku”
“Lalu
di mana jasadku saat ini Wahai Sang Garuda?” tanyaku dengan sopan. “Saat ini
kau sudah meninggal dunia, kau bisa lihat benihmu yang menjadi pohon rindang di
tempat aku tanam tadi” Jawab sang Garuda. Aku pun terhenyak, aku tidak sadar
telah mati. Ternyata aku keletihan dan overdosis obat-obatan. Jasadku masih
tergeletak di sandaran di dinding rumah sakit. “Sudah tenanglah Wahai Amukti,
namamu sekarang menjadi Amukti. Nama yang bagus dan memiliki makna tinggi. Kau
sudah pantas tinggal di alam Kehadiran-Nya, tidak perlu kau risau akan dunia di
bawah sana. Jalan menuju Tuhan sangat samar-samar. Kau harus bersyukur Tuhan
menarik Rahmat dan Fadhal-Nya untukmu”
Dengan
menarik nafas, ku ucapkan syukur yang mendalam kepada-Nya. Apa jadinya aku
tanpa-Nya. Bukan siapa-siapa dan tidak bisa apa-apa. Dengan izin-Nya, aku bisa
bertemu kembali dengan selamat kepada-Nya.
Rasa
nyaman dan bahagia selalu hadir di hatiku, tidak pernah merasa susah, duka,
sengsara karena aku bertemu dengan Penciptaku. Keindahan yang abadi Abadan yang
pasti ku dapatkan. *****
0 Komentar